Entri Populer

Minggu, 12 Desember 2010

PERILAKU ANTARA MAHASISWA DENGAN POLISI DI MAKASSAR. Oleh : Muhammad Saroha Lubis. JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU 2010


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang.
Demo mahasiswa di Makassar pada hari Kamis dan Jumat (5/3/2010) berakhir rusuh dan anarkis. Hal ini dipicu oleh tindakan sejumlah polisi dan warga yang melakukan perusakan terhadap sekretariat HMI pada hari Kamis (4/3/2010). Insiden itu sebelumnya disebabkan karena diawali adanya penyerangan mahasiswa terhadap kantor Polsek Ujungpandang. Aksi itu didominasi perlawanan mahasiswa terhadap polisi dan simbol-simbolnya. Bahkan selanjutnya kerusuhan itu meluas menjadi pertarungan horisontal antara warga dan mahasiswa. Bila timbul suatu masalah pelik, pasti akan timbul berbagai spekulasi penyebab seperti pengalihan isu, ditunggangi atau konspirasi tingkat tinggi. Namun tampaknya fenomena baru ini tampaknya terjadi diawali karena saling dendam dan saling tidak menghargai.
Tindakan anarkis mahasiswa pun tidak terelakkan lagi. Bahkan sebagian kalangan seakan tidak percaya bahwa tindakan itu dilakukan oleh mahasiswa sebagai insan intelektual. Bayangkan terlihat dengan ganas dan liarnya para mahasiswa melempari dan merusak berbagai kantor polisi. Bukan hanya itu sebagian mahasiswa merusak fasilitas umum seperti rambu lalulintas, lampu lalu lintas, beton pembatas jalan dicopot dibuang di tengah jalan. Tindakan brutal lainnya sekelompok mahasiswa menyandera mobil plat merah dan mobil polisi, dengan menginjak-injak, memecah kaca bahkan berusaha untuk menggulingkannya. Tindakan yang sulit diterima akal sehat dalam negara yang berdaulat, ketika mahasiswa melakukan sweeping di jalanan terhadap polisi yang lewat di jalanan. Hal yang lebih memiriskan ketika mahasiswa menutup jalan, suatu ketika sebuah mobil ambulans dengan lampu menyala menerobos barikade mahasiswa. Spontan para mahasiswa menjadi beringas. Melempari ambulans tersebut sehingga kaca belakangnya pecah. Hal ini sangat patut disayangkan, karena apapun alasannya, meski dalam keadaan perangpun, tidak boleh ada yang menghalangi ambulans bahkan sampai melemparinya.
Bentrokan hebat kembali meletus antara polisi dan mahasiswa Makassar. Kali ini melibatkan mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar (UNM). Polisi bahkan sampai mengejar para mahasiswa hingga ke dalam kampus mereka. Informasi sementara menyebutkan, bentrokan tersebut terjadi sekitar pukul 15.50 Wita, Jumat (5/3/2010). Peristiwa itu diawali aksi unjuk rasa mahasiswa UNM di depan kampus mereka Jl AP Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Namun dalam aksinya, para mahasiswa menyandera sebuah mobil patroli polisi. Hal tersebut memancing aparat kepolisian setempat mengambil tindakan tegas. Polisi bahkan mengejar para mahasiswa hingga ke dalam kampus UNM. Sebuah mobil di dalam kampus tersebut terlihat rusak. Belum jelas siapa pelaku perusakan kendaraan tersebut.
Rusuh antara warga dan mahasiswa di Makassar, Sulsel, masih berlangsung dalam dua hari itu. Mereka terlibat aksi saling lempar bom molotov. Dua massa itu, baik warga maupun mahasiswa, terlihat memegang bom molotov. Selain melemparkan batu dan balok kayu, saling lempar bom molotov pun terjadi.  Ratusan warga kini telah menguasai jalan depan kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) di Jl Andi Pettarani dan Jl Raya Pendidikan. Mahasiswa pun terdesak dan berlari masuk ke dalam kampus. Meski telah berada di dalam kampus, ‘pertarungan' antara dua massa tidak juga berhenti. Saling lempar batu dibatasi dengan pagar kampus. Karena mahasiswa bertahan dan melempar dari dalam kampus, sejumlah fasilitas kampus pun rusak. Kaca jendela Koperasi Mahasiswa pun hancur lebur. Sementara itu, Kapolda Sulselbar Irjen Adang Rohyana menggelar rapat di Rektorat  bersama para petinggi kampus.
Perseteruan dan rusuh antara mahasiswa, masyarakat dan polisi ini akan semakin meluas dan tidak terkendali bila semua pihak tidak bisa menahan diri. Tindakan rusuh yang awalnya bersifat lokal ini berpotensi meluas ke seluruh Indonesia yang mempertaruhkan keamanan yang imbasnya rakyat juga yang dirugikan.
Dalam keadaan yang tidak menentu ini, mungkin langkah bijak yang harus dilakukan bukan saling menyalahkan. Bila itu dilakukan maka semua pihak khususnya mahasiswa, polisi dan masyarakat pasti akan berkata paling benar dan pasti akan menuding pihak lain yang salah. Dalam keadaan seperti ini pasti akan timbul berbagai macam kecurigaan. Polisi pasti akan mencurigai aksi mahasiswa ditunggangi, adanya provokator dan rekayasa anarkisme. Sedangkan pihak mahasiswa tidak kalah garang bahwa menuduh bahwa masyarakat dibayar polisi, dibina polisi, pengalihan isu, konspirasi tingkat tinggi dan berbagai kecurigaan lainnya.
Sebaiknya semua pihak harus instrospeksi diri dengan bijak. Polisi harus lebih mawas diri , sebagai pengayom masyarakat bahwa mahasiswa termasuk kelompok masyarakat yang harus dilindungi. Mahasiswapun harus didominasi nalar intelektual dalam berpikir dan bertindak. Bukan mengedepankan darah muda dan mengabaikan rasio intelektual dengan bertindak tidak cerdas yang cenderung anarkis.

B. Perumusan Permasalahan.

Adapun perumusan masalah Dalam makalah ini yaitu :
1.                                Kenapa bisa terjadi bentrok antara mahasiswa dengan polisi. Padahal pungsi polisi adalah memberikan pelayanan, perlindungan, dan mampu mengayomi masyarakat dengan baik
2.                                Apa saja yang mempengaruhi mahasiswa sehingga mahasiswa banyak merusak pos-pos polisi, pasilitas umum, mobil dinas pejabat negara serta, merusak ambulan yang sedang lewat menerobos jalan yang di blokir mahasiswa.
3.                                Tindakan apa seharusnya yang di lakukan pihak kepolisian dalam melayani mahasiswa yang sedang menyampaikan aspirasinya melalui aksi turun ke jalan.
4.                                Mahasiswa sebagai kaum intelektual, apakah pantas mahasiswa bertindak anarkis dalam kejadian yang terjadi disaat mahasiswa aksi turun kejalan.





BAB II

PEMBAHASAN



  1. Sebuah Bentuk Pengalihan Isu Sistemik Bank Century
Mencermati konflik yang terjadi di Makassar antara HMI Cabang Makassar dengan Polisi Republik Indonesia (Polri) bermula dari persoalan pribadi antara anggota Densus 88 dengan anggota HMI Cabang Makassar. Konflik itu berujung pada penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar, Rabu (3/3/2010). Persoalan ini berbuntut panjang dan mengakibatkan konflik yang berlarut-larut antara HMI se-Indonesia dan Polri.

B. Penyerangan Sekretariat HMI
Dalam kasus penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar tersebut ada beberapa motif; Pertama, peristiwa ini merupakan bentuk dendam anggota Densus 88 terhadap anggota HMI Cabang Makassar dalam pengamanan aksi demonstrasi sebelumnya yang berakibat adanya ketersinggungan anggota Densus 88 terhadap peserta aksi yang sudah masuk pada ranah pribadi (pernyataan Kapolda Sulselbar di media massa). Kedua, adanya upaya pengalihan isu kasus Bank Century yang menjadi focus issue dari gerakan mahasiswa terutama HMI. Ketiga, menciptakan image and opinion public terhadap gerakan mahasiswa yang cenderung anarkis.

Hal ini secara komprehensif dapat kita cermati; Pertama, konflik ini terjadi di Makassar yang beberapa waktu ini menjadi titik sentral gerakan mahasiswa terhadap kasus korupsi di Indonesia, lihat peristiwa KPK-Polri atau “cicak versus buaya,” kemudian peringatan Hari Korupsi pada 9/12/2009, dan gerakan mahasiswa pada kasus Bank Century. Mahasiswa di Makassar memiliki perlawanan yang serius dan sangat keras dan salah satu motor gerakan itu adalah HMI bersama organisasi mahasiswa se-Indonesia.

Koflik ini sangat ironis, karena dilakukan oleh perwira Densus 88 dan anggota Samapta Polda Sulselbar merusak sekretariat HMI yang merupakan simbol organisasi, dan menganiaya kader HMI yang berada di sekretariat HMI Cabang Makassar. Dan ini merupakan upaya memancing reaksi mahasiswa yang dalam pemetaan gerakan HMI Makassar merupakan basis HMI terbesar di Indonesia dan memiliki kultur yang keras, sehingga ketika peristiwa itu terjadi di Makassar tentunya akan memancing reaksi mahasiswa.

Kedua, akibat konflik ini, reaksi HMI se-Indonesia muncul, hal ini karena yang diserang Polri adalah simbol organisasi HMI, bagi kader HMI simbol tersebut memiliki arti yang sangat sakral terbukti reaksi HMI se-Indonesia secara serentak melakukan perlawanan pada Polri, sehingga kasus Bank Century beralih pada perilaku mahasiswa yang radikal. Hal ini dapat kita cermati pasca-penyerangan seketariat dan pemukulan kader HMI Cabang Makassar oleh anggota Densus 88, terjadi aksi balasan oleh anggota HMI Cabang Makassar.

Pada Kamis, tanggal 4 Maret 2010, anggota HMI melakukan penyerangan ke Polsek dan pos polisi di Makassar dan terjadi bentrok antara Polri bersama warga yang terorganisir dengan Mahasiswa UIN Awwaludin. Hal ini dipicu dari pemukulan ketua umum dan pengurus HMI Cabang Makassar ketika melaporkan penyerangan yang dilakukan anggota Densus 88 di Mapolwiltabes Makassar. Isu beralih pada HMI-warga bentrok, dalam hal ini seolah-olah mahasiswa bersikap berutal dan anarkis yang mengakibatkan warga marah. Dari penjelasan Ketua Umum Pengurus Besar HMI, Arif Musthopa, bahwa warga yang dimaksud adalah orang-orang yang sebelumnya sudah dikumpulkan di salah satu kantor polisi di Makassar dan menjadi pelaku yang sama pada penyerangan demonstrasi mahasiswa Universitas Negeri Makassar (5/3/2010).

C. Pengalihan Isu
Penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar oleh anggota Densus 88 merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan norma, etika dan melanggar hukum apatah lagi yang melakukan penyerangan tersebut adalah aparat penegak hukum, yang seharusnya melakukan penegakan hukum, bukan malah sebaliknya. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya dan berimplikasi pada perlawanan HMI terhadap institusi Polri dan dapat dipastikan akan terjadi gejolak di daerah-daerah oleh kader HMI dan proses ini akan berlangsung berlarut dan panjang.

Sebagai organisasi yang independen dan dinamis daya juang kader HMI tidak akan berhenti, bahkan gerakan HMI akan semakin mengalami penguatan. Penulis menganalisa, bahwa gerakan di Makassar akan mengarah pada tuntutan Kapoda Sulselbar dan Kapolwiltabes mundur dari jabatannya atau di copot oleh Mabes Polri, dan gerakan mahasiswa akan menuntut kasus Bank Century agar dituntaskan akan semakin gencar, serta reformasi di tubuh Polri.

HMI menganggap bahwa tindakan anggota Polri tersebut merupakan rangkaian pengalihan isu Bank Century yang dilakukan Polri dengan memancing reaksi gerakan mahasiswa agar terjadi gerakan yang anarkis dan berutal. Dan hal itu sudah dapat dilihat bagaimana perlawanan yang berlangsung sengit dari HMI Cabang diberbagai daerah; Jakarta, Medan, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Banten, Jogjakarta, Tulung Agung, Ambon, Pare-pare, Tanjungpinang, dan lain sebagainya berlangsung ricuh. Gerakan ini merupakan aksi solidaritas kader HMI se-Indonesia terhadap penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar, yang menandakan bahwa telah terjadi tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani gerakan mahasiswa.

Tindakan anarkis mahasiswa ini, menurut Muchtar E Harahap dan Andris Basril (1999), bahwa mahasiswa memiliki potensi radikalisme dan oposisi terhadap otoritas pemerintah dan status quo kekuasaan. Ketika Polri bermain pada ranah yang sensitif terhadap organisasi kemahasiswaan tentunya akan memancing potensi radikalisme dari kelompok mahasiswa. Dalam persoalan ini tentunya pernyataan Kapolda Sulselbar, bahwa yang melakukan penyerangan itu adalah oknum Polri bukan institusi Polri sebagai upaya agar tidak terjadi konflik yang meluas tentunya merupakan pernyataan yang tidak bertanggung jawab. Namun justru hal ini akan diabaikan oleh kader HMI, karena bagaimana bila kejadian tersebut terjadi sebaliknya, anggota Polri yang diserang mahasiswa.

Bagi HMI, peristiwa penyerangan sekretariat HMI ini memberi energi baru bagi kader HMI se-Indonesia, karena peristiwa ini akan membangkitkan semangat kader HMI. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai bentuk fase perlawanan HMI pasca-reformasi dan HMI menemukan kembali khittah organisasinya sebagai organisasi perjuangan. Tindakan Polri yang beberapa waktu ini cenderung represif dalam menangani massa aksi akan menjadi agenda gerakan mahasiswa, karena sebenarnya Polri harus berterima kasih terhadap gerakan reformasi 1998. Dampak lain dari gerakan reformasi 1998, Polri telah dipisahkan dari TNI dengan itu diharapkan Polri tidak militeristik akan tetapi lebih persuasif terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, LSM, buruh, tani dan masyarakat.

D. Reposisi Paradigma
Berangkat dari konflik HMI-Polri beberapa waktu ini  ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh masing-masing kelembagaan HMI-Polri, yaitu; reposisi paradigma peran dan fungsi kelembagaan tersebut. HMI sebagai organisasi mahasiswa dan berperan sebagai organisasi perjuangan, harus berjalan pada koridor dan kapasitasnya secara proporsional. Sebagai kaum intelektual dan terpelajar dalam melakukan gerakannya, HMI lebih mengedepankan substansi aksi tidak terjebak pada persoalan emosional sesaat yang menimbulkan reaksi personal dalam melakukan aksi unjuk rasa.

Polri juga harus menyadari bahwa posisinya sebagai alat negara bukan alat kekuasaan yang diberi wewenang untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, bukan sebaliknya melakukan pemukulan, penyerangan, penganiayaan, ka-renanya Polri harus lebih bersikap kooperatif dan persuasif tidak melakukan penyerangan dan dalam melihat massa aksi bukanlah sebagai lawan atau musuh, akan tetapi memberikan ruang secara proporsional agar aspirasi peserta unjuk rasa dapat tersalurkan. Apabila reposisi ini dapat dilakukan, maka kemungkinan bentrok antara mahasiswa dan Polri akan terminimalisir dan demokrasi serta penegakkan hukum dapat berjalan dengan baik. Semoga.

E. Berpikir Rasional
Bila semua pihak berpikir rasional dan kepala dingin maka semua kecurigaan dan pikiran negatif itu akan semakin menjauh. Kecurigaan terhadap sesuatu boleh saja terjadi, tetapi jangan berlebihan. Kecurigaan seperti pengalihan isu sosial century adalah kecurigaan yang kurang mendekati rasio seorang intelek. Kalaupun ada skenario pengalihan isu, maka sutradaranya pasti adalah sangat tidak pintar. Karena, bila itu dilakukan maka kerugiannya sangat besar dibandingkan manfaatnya. Bayangkan bila tujuan pengalihan itu tercapai hanya bersifat sementara, namun taruhannya kekacauan akan meluas ke seluruh pelosok negeri yang akan mengancam kredibilitas penguasa. Justru kecurigaan bersama terhadap pihak ke tiga atau provokator boleh dikedepankan, karena berbagai pihak dapat memancing keuntungan di tengah kekeruhan situasi.
Pikiran positif harus diciptakan semua pihak. Pikiran positif pihak mahasiswa harus diciptakan untuk menjadi lebik bijak. Bahwa polisi adalah aparat yang tidak mementingkan kepentingan politik, mereka hanya sekedar berorientasi melancarkan hambatan yang menganggu keamanan dan ketertiban umum. Mahasiswa juga harus sadar bahwa polisi adalah profesional yang diciptakan untuk menghargai simbol-simbol korpsnya secara mutlak. Simbol kebanggaan korps seperti bendera atau markas harus dijaga dengan darah dan nyawa. Bila simbol kebanggan korps seperti markas mereka diserang maka akan meningkatkan adrenalinnya untuk melakukan tindakan yang diluar rasio akal sehat seorang sipil.
Demikian juga polisi harus menyadari bahwa mahasiswa adalah seorang intelektual idealis dengan tingkat emosi, rasio dan kebijakan yang belum matang. Bila simbol kesetiakawanan dan perjuangan mereka terusik seperti penyerangan markas HMI maka semua yang bernama mahasiswa di seluruh negeri pasti akan mendidih darahnya. Sehingga apabila oknum mahasiswa dan oknum polisi melakukan hal itu, semua harus menahan diri. Tindakan oknum mahasiswa menyerang pos polisi tidak mewakili tindakan mahasiswa pada umumnya. Sebaliknya tindakan polisi menyerang markas HMI tidak mewakili korps polisi secara keseluruhan.
Semua pihak harus dengan akal sehat dan niat baik untuk meredam saling kecurigaan yang ada dalam panasnya belahan otak mahasiswa atau dan mendidihnya darah korps polisi. Polisi harus maklum mahasiswa marah karena markas HMI dihancurkan. Mahasiswapun harus sadar bahwa polisi bertindak brutal karena markasnya sebelumnya didahului diserang mahasiswa. Demikian juga mahasiswa harus maklum bahwa mengapa masyarakat bertindak antipati terhadap mereka, karena selama ini masyarakat sudah sangat terganggu oleh aksi tutup jalan dan tindak anarkis mahasiswa. Setiap pihak tidak boleh memaksakan pihak lain untuk supaya mentoleransi tindakannya. Semua pihak harus saling menghargai tugas dan pekerjaannya masing-masing. Polisi harus dihargai dalam tugasnya mengamankan ketertiban dan kemanan masyarakat khusunya menghadapi demonstrasi yang tidak tertib. Sedangkan polisi juga harus menghargai tugas alamiah mahasiswa sebagai wakil rakyat untuk berdemokrasi di jalanan. Demikian juga mahasiswa juga harus menghargai hak masyarakat untuk melakukan kegiatan sehari-hari untuk mencari nafkah dan beraktifitas. Mahasiswa harus sadar bahwa begitu mereka menutup jalan maka kerugian masyarakat yang terjadi sangat besar baik kerugian waktu dan kerugian ekonomi.
Meredam dendam itu bukan berarti harus dengan melegalkan serangan mahasiswa terhadap polisi dan meghalalkan anarkisme mahasiswa terhadap pos polisi. Tetapi harus saling introspeksi mengapa semua aksi itu terjadi. Semua aksi itu akan terjadi karena adanya kronologis peristiwa yang mengusik masing-masing pihak. Langkah awal yang pasti harus dilakukan mahasiswa, masyarakat dan polisi untuk menahan diri dan berpikir logis. Sebaiknya mahasiswa menahan diri untuk menutup jalan atau mengacau ketertiban umum. Sedangkan polisi harus mengutamakan tindakan persuasif. Tindakan selanjutnya setelah suasana dingin, semua perilaku yang melanggar hukum baik mahasiswa dan polisi harus diproses secara hukum secara tranparan dan terbuka. Bila ini semua dilakukan dengan elegan maka tidak akan ada lagi tindakan anarkis mahasiswa dan tindakan represif polisi. Pelajaran penting yang utama adalah bahwa dendam dan saling tidak menghormati sesamanya adalah akar dari permasalahan itu sehingga semua jadi meruncing. Jangan sampai mahasiswa ingin membantu memperbaiki masalah bangsa tetapi hanya menambah masalah baru. Jangan sampai mahasiswa ingin memperjuangkan rakyat tapi justru akan dimusuhi rakyat yang sedang diperjuangkannya. Semua peristiwa buruk yang terjadi adalah sebagai pembelajaran berdemokrasi yang lebih baik dan berbudaya di masa depan dengan selalu mengikuti norma dan aturan yang sudah disepakati bersama oleh seluruh bangsa ini.
F.Polisi Penengah
Terkesan polisi lemah dalam mengapresiasi "manajemen konflik" untuk secepatnya meredam agar perselisihan oknum mahasiswa dengan oknum polisi agar tidak berkembang lebih besar. Manajemen konflik yang baik akan mampu merefleksi situasi dan kondisi yang mulai genting menjadi redam dengan pendekatan persuasif dan saling memahami fungsi masing-masing.

Polisi dan mahasiswa bisa menahan diri seandainya pimpinan polri bergerak cepat meredam pemicu yang menyebabkan Mes HMI dirusak. Oknum polisi yang menyerang sesegera mungkin diproses secara terbuka dan dapat dipantau publik. Karenanya citra dan kewibawaan polisi kembali diuji, terutama pada kemampuan menempatkan diri sebagai "polisi sipil" dalam mendekati mahasiswa.

Unjuk rasa  mahasiswa juga butuh pelayanan yang persuasif. Bukan dengan gertakan, apalagi ancaman akan ditangkap atau diciduk setelah aksi unjuk rasa selesai. Seberapa jauh polisi secara institusional mampu mendekatkan diri dengan mahasiswa (termasuk warga masyarakat), amat bergantung pada inisiatif pimpinan dalam membentuk watak bawahan yang akan bertugas di lapangan. Kehadiran aparat kepolisian, sebetulnya bukan sebuah pilihan yang harus ada di setiap tempat,  lantaran terbatasnya personel polisi. Selaku polisi sipil, sebaiknya setiap personelnya mampu memahami watak warga masyarakat yang akan diamankan dan dilayani.

Posisi polisi dalam mengamankan unjuk rasa seharusnya "sebagai penengah" dengan aktif menghubungi pejabat sebagai sasaran yang dituju bagi pengunjuk rasa. Penengah yang bijak dan profesional dari kemungkinan terganggunya kepentingan umum dengan kepentingan pengunjuk rasa yang akan menyampaikan aspirasinya.
Ujian kewibawaan bagi polisi semakin sering terjadi, terutama ketika eskalasi demokrasi dan gerak langkah masyarakat semakin dinamis. Era polisi sipil saat ini menjadi penting, karena menangani segala hal yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, otomatis akan menempatkan polisi yang bisa jadi serba salah.

Di sinilah dituntut kematangan mental untuk selalu bersabar sebagai salah satu unsur polisi sipil yang profesional, dan hal ini akan terus mendapat ujian karena dinamika masyarakat tidak pernah berhenti. Polisi mesti memahami bahwa komunikasi politik antara rakyat dengan pemerintah, salah satunya melalui unjuk rasa. Hanya saja harus didesain dengan matang, apalagi, sebagian peserta aksi adalah warga kelas menengah dan terdidik.

Substansi unjuk rasa adalah keinginan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Tuntutannya tentu bukan sekadar pesan kosong, sehingga pemerintah harus menyikapinya dengan bijaksana dan polisi berada pada posisi netral dan penengah.

G. Sudah Kebal
Ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) digulirkan, memang ada keraguan berkaitan dengan kemampuan dan kompetensi polisi yang bertugas di lapangan. Mampukah polisi memberikan pelayanan, perlindungan, dan pengayoman yang baik bagi masyarakat yang kehidupannya serba dinamis dan kompleks itu?
Keberhasilan menangani terorisme, obat terlarang, dan berbagai tindak kejahatan lain, belum bisa menjadi ukuran keberhasilan polisi secara keseluruhan. Sebab, dalam UU Kepolisian, polisi dituntut menjadi polisi yang santun dalam memberikan pelayanan, perlindungan, dan mampu mengayomi masyarakat dengan baik.
Di sinilah tempatnya polisi melakukan komunikasi dengan baik saat ada aksi unjuk rasa mahasiswa yang kemungkinan akan mengganggu kepentingan umum atau bahkan anarkis.
Setiap aksi unjuk rasa, baik yang dilakukan oleh mahasiswa maupun kelompok masyarakat lain, sudah pasti akan mengganggu kepentingan umum, karena pengunjuk rasa juga menggunakan ruang publik (fasilitas jalan) yang sama dengan warga masyarakat. Aspek ini jugalah yang perlu dipahamkan kepada warga masyarakat, bahwa aksi unjuk rasa tidak mungkin bebas dari penggunaan ruang publik. Penutupan jalan di depan kampus oleh pengunjuk rasa, meskipun hal itu menganggu ketertiban umum dan tidak boleh dilakukan, tetapi penyebab dari aksi itu juga harus dikritisi. Ada kesan akhir-kahir ini, para pejabat negara sudah mulai "kebal dengan unjuk rasa" lantaran hampir setiap hari melihat dan menjadi sasaran penyampain aspirasi. Karena merasa sudah kebal, merekapun mulai acuh, bahkan tidak mau lagi melayani dengan baik pengunjuk rasa yang akan menyampaikan aspirasi. Kondisi inilah sebagai "salah satu pemicu" penutupan jalan dan kemungkinan akan bentrok dengan polisi yang datang mengamankannya.

Kasihan mereka, dua sosok yang masing-masing punya fungsi positif (polisi dan mahasiswa) dalam kehidupan bernegara, terpaksa harus berhadap-hadapan hanya karena keacuhan pejabat negara menerima dengan baik maksud pengunjuk rasa. Banyak yang mengakui, unjuk rasa merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengubah persepsi penguasa dari kekeliruan yang terus dilakukan. Pemerintah dan parlemen tidak dipercaya lagi mengemban amanah rakyat. Kasus Century merupakan salah satu bukti begitu bobroknya watak sebagian penyelenggara negara dalam menyikapi persoalan krisis yang kemudian dibungkus dengan "kebijakan bailout" yang ternyata melanggar hukum.










BAB III

KESIMPULAN

A. Penutup     
Dalam UU Kepolisian, polisi dituntut menjadi polisi yang santun dalam memberikan pelayanan, perlindungan, dan mampu mengayomi masyarakat dengan baik Bentrok antara aparat kepolisian dengan mahasiswa, khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makassar selama hampir tiga hari, mulai dari tanggal 3-5/3/2010 cukup menyita perhatian berbagai kalangan. Reaksinya bukan hanya di Makassar, tetapi menasional karena melalui media televisi disiarkan secara langsung konflik yang terjadi itu.
Dukungan solidaritaspun bermunculan, aktivis HMI di sejumlah kota turut mengecam tindakan polisi yang menyerang Mess HMI. Saling serang begitu terbuka, beberapa oknum polisi menyerang dengan merusak Mes HMI dan menangkap mahasiswa yang kebetulan terpisah dari kelompoknya. Sebaliknya, mahasiswa juga melakukan serangan balasan terhadap kantor polisi dan pos-pos pelayanan lalu-lintas, bahkan melempari polisi yang mencoba mendekatinya. Peristiwa ini lagi-lagi kembali menyentakkan masalah klasik, kebablasan melaksanakan hak mengemukakan pendapat (unjuk rasa) dan runtuhnya "citra polisi" dalam menangani aksi tersebut.

Ujian bagi citra dan kesantunan polisi dalam menangani aksi unjuk rasa, bukan sekali ini. Sudah berulang-kali bentrok dengan mahasiswa terjadi seiring dinamisnya kehidupan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Berbagai perilaku, baik dari pengunjuk rasa maupun oknum polisi yang tercela sering terjadi, lantaran keduanya tidak mampu menempatkan diri pada proporsinya masing-masing.

Unjuk rasa memang salah satu bagian dari demokratisasi, tetapi saat unjuk rasa anarkis yang menimbulkan ketakutan bagi warga masyarakat, maka polisi akan hadir mengapresiasinya. Sayang, polisi tidak mampu mengelaborasi potensi konflik dengan baik sehingga pecahlah bentrok yang cukup serius selama hampir tiga hari.   
              

B.     Saran

 

Untuk menurunkan tensi konflik mahasiswa-polisi di Makassar, semua pihak harus intropeksi diri.  Mahasiswa juga mematuhi hukum dan menghargai hak-hak orang lain dalam menggunakan fasilitas. Misalnya, tidak menutup jalan secara serampangan, merusak fasilitas umum, sampai bentrokan dengan aparat kepolisian.
Pengalaman buruk selama hampir tiga hari ini, dijadikan pelajaran berharga agar aspirasi yang disampaikan selalu mendapat simpati rakyat. Begitu pula polisi, senantiasa menahan diri dan bersikap persuasif, bersahabat, dan mampu menampilkan diri sebagai polisi sipil yang tidak menyeramkan bagi mahasiswa dan warga masyarakat. Polisi juga perlu belajar lagi, bahwa pengalaman empiris banyak membuktikan, aksi unjuk rasa bukan saja dapat memengaruhi kebijakan, melainkan juga turut memengaruhi jatuhnya penguasa negara yang otoriter sekalipun.
















REFERENSI


http://m.detik.com. Luhur Hertanto - detikNews
http://openx.detik.com. Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews
http://www.kompas.co.id/utama/news/0405/01/215152.htm

Peran Alat Kelengkapan Dewan Dalam Fungsi Legislasi


BAB I

PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Kepentingan dan aspirasi masyarakat tersebut harus dapat ditangkap oleh Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagan pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan, yang bertujuan sebagaimana yang disebutkan di atas. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD seyogyanya merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini dapat dicerminkan dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Namun dalam kenyataannya, sinergisme tersebut belum dapat berjalan secara optimal. Kesetaraan hubungan tersebut seringkali dimaknai lain, yang mengurangi fungsi dan kewenangan dewan. Sebagai contoh, masih banyaknya produk peraturan-peraturan daerah yang merupakan inisiasi dari pemerintah daerah, bukan dari DPRD. Padahal jika kita merujuk pada Pasal 95 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 dengan tegas dinyatakan bahwa ”DPRD memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah”. Ini artinya bahwa “leading sector” pembentukan PERDA seharusnya ada ditangan DPRD. Belum lagi yang berkaitan dengan “bargaining posisition” dalam pembahasan APBD, DPRD masih dalam posisi yang lemah. Bagaimana tidak, draft Perda APBD tersebut biasanya masuk ke Dewan dalam waktu yang sangat pendek, sehingga sangat sulit bagi Dewan untuk secara teliti mengkaji substansi dari draft tersebut. Selain kedua contoh di atas, jika kita lihat dari aspek penganggaran yang dimiliki Dewan, masih sangat timpang dibandingkan dengan penganggaran yang ada di pemerintah daerah. Dewan tidak mempunyai otonomisasi anggaran yang dapat mendukung fungsi dan kinerjanya secara optimal. Sehingga tidak aneh jika seringkali muncul ’rumor’ bahwa DPRD hanya sebagai ’rubber stamp’ yang meligitimasi semua kebijakan pemerintah. Hal ini diperparah lagi dengan regulasi kita yang belum memberikan kedudukan yang setara antara pemerintah daerah dengan DPRD, yaitu antara lain yang berkaitan dengan :
1.      Status pejabat negara, hanya melekat pada kepala daerah tidak termasuk anggota DPRD
2.      Pengaturan hak inisiasi legislasi bagi anggota maupun kelembagaan DPRD dibanding dengan pengaturan inisiasi legislasi dari pemerintah daerah (dalam bentuk peraturan teknis pelaksanaan)
3.      Kedudukan, tugas dan fungsi alat kelengkapan Panitia Legislasi dalam struktur kelembagaan Dewan.
4.      Pengangkatan staf ahli untuk mendukung kinerja dewan.
Dari kondisi yang demikian, memang sepertinya sangat sulit untuk berharap banyak adanya kesetaraan antara Pemerintah Daerah dengan DPRD, tetapi hal ini bukannya tidak mungkin. Sejalan dengan perubahan konstitusi dan kematangan otonomi daerah, mulai dilakukan penguatan fungsi dan kinerja dewan melalui perubahan regulasi, pembenahan struktur kelembagaan (mis. adanya penambahan alat kelengkapan dewan yang berupa Panitia Legislasi, Badan Kehormatan, dll), penguatan kelembagaan (optimalisasi fungsi alat-alat kelengkapan dewan), penguatan penganggaran, peningkatan daya dukung Dewan (sarana-prasarana dan staf) dan penentuan Program Legislasi Daerah sebagai instrumen perencanaan pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis antara Dewan dan Pemerintah Daerah.

Dalam upaya mendorong dan mengakselerasi ke arah penguatan fungsi dan kinerja Dewan tersebut (khususnya dalam bidang legislasi), peran alat-alat kelengkapan Dewan dalam hal ini salah satunya adalah Panitia Musayawarah

 

B.       Rumusan Masalah

 

1. Bagaimanakah proses legislasi

 

BAB II
PEMBAHASAN


A.  Peran Alat Kelengkapan Dewan Dalam Fungsi Legislasi
Jika kita merujuk pada ketentuan Pasal 46 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 43 PP No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, alat kelengkapan DPRD terdiri dari pimpinan, komisi, panitia musyawarah, panitia anggaran, badan kehormatan dan alat kelengkapan lain yang diperlukan. Jika dikaitkan dengan fungsi legislasi, tidak semua alat kelengkapan tersebut terlibat secara langsung. Alat-alat kelengkapan yang terlibat secara langsung antara lain adalah komisi, panitia musyawarah dan adanya kemungkinan alat kelengkapan lain yang dibentuk khusus menangi masalah legislasi, misalnya Panitia Legislasi. Dibawah ini akan penulis sampaikan tugas-tugas alat-alat kelengkapan dewan tersebut yang terkait dengan fungsi legislasi.
1. Komisi
Jika kita mengacu pada fungsi dewan, ada 3 hal yang melekat padanya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut secara inhern melekat pada tugas komisi selain alat kelengkapan dewan yang lain.
Dalam fungsi legislasi, komisi dapat mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan membahas rancangan peraturan daerah bersama dengan pemerintah daerah, baik terhadap rancangan Perda usul inisiatif Dewan maupun usul inisiatif Pemerintah Daerah. Jika rancangan Perda tersebut merupakan usul inisiatif dewan (komisi), maka tugas yang dapat dilakukan adalah mulai dari persiapan, penyusunan, pembahasan dan penyempurnaan rancangan Perda, sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Ketentuan lebih rinci yang terkait dengan tugas dan kewenangan ini biasanya diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan. Untuk menunjang perancangan dan pembahasan Perda tersebut, komisi dapat melakukan kunjungan kerja dalam rangka mencari dan menjaring aspirasi masyarakat yang terkait dengan substansi materi rancangan Perda yang akan dibahas. Selain itu Komisi juga dapat melakukan rapat kerja dan dengar pendapat untuk melakukan pengayaan materi terhadap Rancangan Perda yang dibahas. Selajutnya dilakukan pembahasan bersama pemerintah daerah (dinas terkait yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota) untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Dalam fungsi anggaran, komisi mempunyai tugas :
a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah daerah;
b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan Rancangan APBD;
c. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk program, proyek atau kegiatan Dinas/Instansi yang menjadi pasangan kerja komisi;
d. mengadakan pembahasan laporan keuangan daerah dan pelaksanaan APBD termasuk hasil pemeriksaan Bawasda/BPKP/BPK yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya;
e. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan (huruf a) dan hasil pembahasan (huruf b, c dan d) kepada Panitia Anggaran untuk disinkronisasi;
f. menyempurnakan hasil sinkronisasi Panitia Anggaran berdasarkan penyampaian usul komisi;
g. hasil pembahasan Komisi diserahkan kepada Panitia Anggaran untuk bahan akhir penetapan APBD.
Dalam fungsi pengawasan, komisi mempunyai tugas :
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan APBD yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan Bawasda/BPKP/BPK yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya.
c. melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah;
2. Panitia Musyawarah
Panitia Musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Pemilihan anggota Panitian Musyawarah ditetapkan setelah terbentuknya Pimpinan DPRD, Komisi-komisi, Panitia Anggaran dan Fraksi. Panitia Musyawarah terdiri dari unsur-unsur Fraksi berdasarkan perimbangan jumlah anggota dan sebanyak-banyaknya tidak lebih dari setengah jumlah anggota DPRD (untuk DPR RI sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari jumlah anggota). Ketua dan Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Pimpinan Panitia Musyawarah merangkap anggota. Susunan keanggotaan Panitia Musyawarah ditetapkan dalam Rapat Paripurna. Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Musyawarah bukan anggota.
Panitia Musyawarah menurut ketentuan Pasal 47 PP 25/2004, mempunyai tugas :
a. memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja DPR, baik diminta maupun tidak diminta;
b. menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD;
c. memutuskan pilihan mengenai isi risalah rapat apabila timbul perbedaan pendapat;
d. memberikan saran pendapat untuk memperlancar kegiatan;
e. merekomendasikan pembentukan Panitia Khusus.
Berkaitan dengan tugas menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD, Panitia Musyawarah menetapkan acara DPRD untuk satu masa sidang atau sebagian dari suatu masa sidang dan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian suatu Rancangan Perda dan penentuan besarnya quota Rancangan Perda yang dibahas oleh masing-masing alat kelengkapan Dewan dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya.
Melihat pentingnya posisi Panitia Musyawarah dalam kelembagaan dewan, seharusnya tugas Panitia Musyawarah tidak hanya terpathok pada apa yang telah diamanatkan oleh Pasal 47 PP No. 25/2004 di atas. Ada tugas-tugas lain yang masih relevan dan substansi terkait dengan kewenangan Panitia Musyawarah. Tugas-tugas dimaksud antara lain :
a. memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD;
b. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPRD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut;
c. mengatur lebih lanjut penanganan dalam hal peraturan perundang-undangan (Perda) menetapkan bahwa Pemerintah Daerah atau pihak lainnya diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPRD mengenai suatu masalah;
d. menentukan penanganan suatu Rancangan Perda atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD. Namun Panitia Musyawarah tidak boleh mengubah keputusan atas suatu Rancangan Perda atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD;
e. melaksanakan hal-hal yang oleh Rapat Paripurna diserahkan kepada Panitia Musyawarah.
Berkaitan dengan tugas-tugas di atas, setiap anggota Panitia Musyawarah wajib mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi sebelum mengikuti rapat Panitia Musyawarah dan menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Panitia Musyawarah kepada fraksi.
3. Panitia Legislasi
Pada awal tulisan ini telah disinggung adanya beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaksetaraan (khususnya dalam proses legislasi) antara pemerintah daerah dengan DPRD, yang mengakibatkan belum optimalnya fungsi legislasi di DPRD, yaitu salah satunya adalah belum secara keseluruhan DPRD mempunyai alat kelengkapan Panitia Legislasi. Keberadaan alat kelengkapan ini di dalam DPRD secara normatif memang masih lemah. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD, tidak menyebut secara tegas Panitia Legislasi sebagai salahsatu alat kelengkapan DPRD, namun yang disebut alat kelengkapan DPRD adalah pimpinan, komisi, panitia musyawarah, panitia anggaran, badan kehormatan, dan alat kelengkapan lain yang diperluka. Poin yang terakhir inilah sebagai pintu masuk dibentuknya alat kelengkapan Panitia Legislasi, sehingga tidak dianggap sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap. Untuk itu, jika ada komitmen dan keinginan yang kuat dalam upaya meningkatkan optimalisasi dalam fungsi legislasi, alat kelengkapan Panitia Legislasi di DPRD hendaknya dipersamakan dengan alat-alat kelengkapan DPRD lainnya yang telah ada dan ditetapkan keberadaannya bersifat tetap.
Alat kelengkapan ini dipandang perlu jika ada komitmen untuk melakukan penguatan fungsi legislasi di DPRD. Tugas-tugas yang dapat dilaksanakan oleh alat kelengkapan ini adalah :
a. menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan daerah untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan Keputusan Ketua DPRD;
b. menyiapkan rancangan peraturan daerah usul inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi, dan gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan;
d. memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi, dan gabungan komisi diluar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan;
e. melakukan pembahasan dan perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah yang secara khusus ditugaskan Panitia Musyawarah;
f. melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang sedang dan/atau yang akan dibahas dan sosialisasi rancangan peraturan daerah yang telah disahkan;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi;
h. menerima masukan dari masyarakat baik tertulis maupun lisan mengenai rancangan peraturan daerah;
i. memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas oleh Bupati/Walikota dan DPRD; dan
j. menginventarisasi masalah hukum dan peraturan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD untuk dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
B. Penguatan Fungsi Legislasi DPRD
Pada pemaparan di atas, dapat diambil ‘benang merah’ untuk mengurai optimalisasi kinerja Dewan dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Di satu sisi ada faktor yang mempengaruhi kebelumoptimalan kinerja dewan, namun disisi yang lain ada potensi dan peluang yang dapat digali dan dimanfaatkan. Seperti halnya kebutuhan akan alat kelengkapan Panitia Legislasi di DPRD. Alat kelengkapan ini belum secara keseluruhan dimiliki/dibentuk oleh DPRD. Keberadaan alat kelengkapan ini di dalam DPRD secara normatif memang masih lemah. Padahal secara substantif fungsi alat kelengkapan ini sangat penting terkait dengan penguatan fungsi legislasi di daerah (DPRD). Namun keberadaan alat kelengkapan ini sebagaimana yang telah diuraikan di atas, di dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas bahwa Panitia Legislasi sebagai salahsatu alat kelengkapan DPRD. Oleh karena itu tinggal bagaimana komitmen Bapak/Ibu anggota Dewan di daerah untuk terus mendorong dan mengakselerasi terwujudnya alat kelengkapan ini untuk mengoptimalkan fungsi legislasi di DPRD. Harapan ke depan seiring dengan perubahan regulasi dan kebutuhan penguatan legislasi daerah, alat kelengkapan ini dapat dibentuk disemua DPRD dan keberadaannya bersifat tetap.
Selain pembentukan alat kelengkapan Panitia Legislasi di DPRD-DPRD, dalam upaya penguatan fungsi legislasi DPRD sebagaimana tersebut di atas, harus pula didukung adanya pendanaan/anggaran yang cukup. Proses legislasi tidak hanya sekedar pembahasan dan pengesahan suatu RAPERDA tetapi dimulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, perumusan, pembahasan, pengundangan dan penyebarluasan. Kesemua proses tersebut memerlukan anggaran. Jika secara regulatif DPRD di beri fungsi dan wewenang untuk melakukan inisiasi legislasi, maka kesemua proses tersebut harus dilakukan dan juga harus didukung dan disertai dengan anggaran yang cukup. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah daerah sebagai pemegang dan pengelola otoritas keuangan daerah telah secara ‘fair’ memberikan porsi yang seimbang anggaran pembuatan PERDA yang diinisiasi pemerintah daerah sendiri dengan yang diinisiasi DPRD?
Selain kedua hal di atas, dalam upaya penguatan fungsi legislasi DPRD, perlu dipikirkan adanya dukungan staf ahli yang memadai yang nantinya akan membantu kinerja Dewan khususnya dalam proses legislasi.
Staf Ahli Badan Legislasi DPR RI dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember.
Kecuali untuk DPRA dan DPRK (Nangroe Aceh Darussalam), telah secara tegas diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyatakan bahwa “Panitia Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat tetap”.

BAB III

KESIMPULAN

A.     Penutup

Fungsi Legislasi DPR Perlu Dicermati Lebih Lanjut


Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus diperkuat guna mendefinisikan sedemikian rupa tugas dan wewenang dari lembaga negara pasca amandemen UUD 1945 agar tidak saling melemahkan satu sama lain. fungsi legislasi DPR harus diperkuat untuk mencegah terjadinya tumpang tindih tugas dan wewenang lembaga negara.

Sebenarnya, penilaian tumpang tindih tugas dan wewenang lembaga negara tersebut bisa dikatakan wajar mengingat sejumlah kalangan masih belum terbiasa dengan bentuk kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Padahal esensi dari amandemen UUD 1945 justru untuk meletakkan kembali posisi lembaga negara pada tugas dan wewenangnya sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan.

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra. Beliau menyampaikan keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai tumpang tindih tugas dan wewenang lembaga negara yang berujung pada pemborosan uang negara dan konflik.

Konflik yang dimaksud adalah konflik yang kini tengah terjadi antar lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA), maupun kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasca amandemen UUD 1945. Oleh sebab itulah, pihak yang berkepentingan seharusnya mengkaji ulang kembali dasar ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 tersebut.

Menyikapi hal ini, Saldi berpendapat bahwa sejumlah kekosongan konstitusi akibat putusan MK harus diselesaikan menurut aturan perundang-undangan yang berlaku, yakni revisi atau pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang. Sebab kekosongan yang terjadi tidak bisa dituntaskan hanya melalui kesepakatan antar lembaga saja.

Untuk diketahui, sejak dua tahun terakhir, MK telah membatalkan undang-undang atau sejumlah pasal seperti undang-undang No. 22/2001 tentang Migas, undang-undang No. 21/2002 tentang Ketenagalistrikan, pasal-pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), undang-undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.


Sumber:

 Muhammad Saroha Lubis

Universitas Abdurrab Pekanbaru, Riau

 

TEORI DAN MODEL DASAR KOMUNIKASI POLITIK


TEORI DAN MODEL DASAR KOMUNIKASI POLITIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang

Komunikasi adalah merupakan kebutuhan dasar dan prasyarat kehidupan manusia. Tanpa komunikasi hidup manusia terasa ‘hampa’. Sejak manusia dilahirkan ke dunia dan dalam proses kehidupannya, manusia selalu terlibat dalam tindakan-tindakan komunikasi. Lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan komunikasi itu?
Kata atau istilah komunikasi dari bahasa Inggris communication, secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata communis ini memiliki makna berbagi atau menjadi milik bersama yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.
Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward mengenai komunikasi manusia yaitu: Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain.
Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
• Komunikator (siapa yang mengatakan?)
• Pesan (mengatakan apa?)
• Media (melalui saluran/ channel/media apa?)
• Komunikan (kepada siapa?)
• Efek (dengan dampak/efek apa?).

Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah penting untung mempelajari komunikasi politik
2.      Apasaja kegunaan komunikasi politik
3.      mengapa komunikasi dikatakana sebagai alat untuk mencapai yang kita inginkan
4.      Mengapa kita mempelajari ilmu komunikasi

 
BAB II
PEMBAHASAN


A.     Teori dan Model Dasar Komunikasi
1. Teori Jarum Hipodermik
Asumsi dasarnya:
Dikenal juga dengan nama teori sabuk transmisi atau teori peluru Tokoh-2nya: Wilbur Schramm, Everett M. Rogers dan Shoemaker.Komunikator politik (politisi, aktifis, dan profesional) selalu memandang bahwa pesan politik apapun yg disampaikan kepada khalayak, apalagi melalui media massa, pasti menimbulkan efek positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Jadi peran media sangat dipentingkan.

2. teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theory)
Adalah kritik terhadap teori peluru dan tdk percaya bahwa khalayak pasif dan dungu tak mampu melawan keperkasaan media.
Asumsi dasarnya:
Bahwa khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan kepada mereka. Komunikasi merupakan transaksi, pesan yang masuk akan disaring, diseleksi, kemudian diterima atau ditolak melalui filter konseptual.
Fokus pengamatannya terutama kepada komunikan (khalayak), melalui pendekatan psikologi dan sosiologi: apa faktor-2 yg membuat individu mau menerima pesan-2 komunikasi.
Teori ini didukung oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler & Michael Gurevitch  yang beranggapan bahwa manusia merupakan makhluk yg rasional, aktif, dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Aspek kegunaan dan kepuasaan bagi diri pribadi menjadi pertimbangan dalam pilihan khalayak.

3. Teori empati & teori homofili
Komunikasi politik akan sukses bila sukses memproyeksi diri ke dlm sudut pandang org lain. Ini erat kaitannya dg citra diri sang komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dg alam pikiran khalayak.
Komunikasi didasarkan oleh kesamaan (homofili) akan lebih efektif dan lancar ketimbang oleh ketidaksamaan derajat, usia, ras, agama, ideologi, visi dan misi, simbol politik, doktrin politik, dsb. Aplikasinya dalam bentuk; komunikasi interpersonal, lobby, hubungan kemanusiaan, persuasi atau bujukan, dsb.

4. Teori Informasi Dan Non-Verbal
Sesuai dg paradigma pragmatik bahwa bertindak sama dengan berkomunikasi. Informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Bertindak juga merupakan sebuah informasi yg mudah diprediksi berdasarkan pola-pola peristiwa dari waktu ke waktu.
Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yg mengandung berbagai alternatif. tindakan politik adalah komunikasi politik non-verbal. Tanpa menggunakan kata dan bicara, tetapi tindakan dan peristiwa. Berbagai tindakan dan peristiwa politik itulah disebut informasi politik.

5. Teori media kritis atau teori komunikasi kritis.
Asumsinya: Media massa merupakan produk yag dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah. Jadi fokus kajiannya adalah fungsi- fungsi apa yang harus dilakukan oleh media massa di dalam masyarakat.
Tekanannya bukan kepada efek komunikasi kepada khalayak, tetapi lebih memusatkan perhatian kepada Siapa yg mengontrol atau mengendalikan komunikasi massa atau media massa.
Alvin Toffler, mengatakan siapa yang menguasai dan mengendalikan informasi dan komunikasi akan dapat mengendalikan dan menguasai dunia. Inilah yang disebut dengan abad informasi.

B.     Bentuk-2 Komunikasi Politik
1.      Retorika Politik
2.      Agitasi Politik
3.      Propaganda Politik
4.      Public Relation Politik
5.      Kampanye Politik
6.      Lobi Politik
7.      Pola Tindakan Politik
 
 
C.     Definisi komunikasi
  1. Komunikasi : transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol – simbol kata-kata , gambar, figur grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya di sebut komunikasi.
  2. Setiap tindakan komunikasi di pandang sebagai suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari sumber kepada penerima. Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang ( komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang – lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate).
  3. Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang di sadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
  4. Komunikasi  ( internasional) adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol – simbol sedemikia rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang di maksudkan komunikator.
  5. Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab  pertanyaan – pertanyaan berikut.  Atau siapa mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana.
C.     Ragam Tingkatan Komunikasi Atau Konteks-Konteks Komunikasi
Secara umum ragam tingkatan komunikasi adalah sebagai berikut:
1.      Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) yaitu komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang yang berupa proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem syaraf manusia.
    1. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) yaitu kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang dengan orang lain dengan corak komunikasinya lebih bersifat pribadi dan sampai pada tataran prediksi hasil komunikasinya pada tingkatan psikologis yang memandang pribadi sebagai unik. Dalam komunikasi ini jumlah perilaku yang terlibat pada dasarnya bisa lebih dari dua orang selama pesan atau informasi yang disampaikan bersifat pribadi.
    2. Komunikasi kelompok (group communication) yaitu komunikasi yang berlangsung di antara anggota suatu kelompok. Menurut Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam Sendjaja,(1994) memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
    3. Komunikasi organisasi (organization communication) yaitu pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005:52).
    4. Komunikasi massa (mass communication). Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah audien yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media massa cetak atau elektrolik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

Kemudian Mulyana (2005:74) juga menambahkan konteks komunikasi publik. Pengertian komunikasi publik adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak). Yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah atau kuliah (umum). Beberapa pakar komunikasi menggunakan istilah komunikasi kelompok besar  untuk komunikasi ini.

D. Kegunaan Belajar Ilmu Komunikasi
Mengapa kita mempelajari ilmu komunikasi ? Ruben&Steward, (2005:1-8) menyatakan bahwa
1. komunikasi adalah fundamental dalam kehidupan kita.
Dalam kehidupan kita sehari-hari komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak bisa tidak berkomunikasi.tidak ada aktifitas yang dilakukan tanpa komunikasi, dikarenakan kita dapat membuat beberapa perbedaan yang esensial manakala kita berkomunikasi dengan orang lain.Demikian pula sebaliknya, orang lain akan berkomunikasi dengan kita ,baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Cara kita berhubungan satu dengan lainnya, bagimana suatu hubungan kita bentuk, bagaimana cara kita memberikan kontribusi sebagai anggota keluarga, kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat secara luas membutuhkan suatu komunikasi.Sehingga menjadikan komunikasi tersebut menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan kita.

2. komunikasi adalah merupakan suatu aktifitas komplek.
Komunikasi adalah suatu aktifitas yang komplek dan menantang. Dalam hal ini ternyata aktifitas komunikasi bukanlah suatu aktifitas yang mudah. Untuk mencapai kompetensi komunikasi memerlukan understanding dan suatu ketrampilan sehingga komunikasi yang kita lakukan menjadi efektif. Ellen langer dalam Ruben&Stewat( 2005:3) menyebut konsep mindfulness akan terjadi ketika kita memberikan perhatian pada situasi dan konteks, kita terbuka dengan informasi baru dan kita menyadari bahwa ada banyak perspektif tidak hanya satu perspektif di kehidupan manusia.

3. komunikasi adalah vital untuk suatu kedudukan/posisi yang efektif.
Karir dalam bisnis, pemerintah, atau pendidikan memerlukan kemampuan dalam memahami situasi komunikasi, mengembangkan strategi komunikasi efektif, memerlukan kerjasama antara satu dengan yang lain, dan dapat menerima atas kehadiran ide-ide yang efektif melalui saluran saluran komunikasi. Untuk mencapai kesuksesan dari suatu kedudukan/ posisi tertentu dalam mencapai kompetensi komunikasi antara lain melalui kemampuan secara personal dan sikap, kemampuan interpersonal, kemampuan dalam melakukan komunikasi oral dan tulisan dan lain sebagainya.

4. Suatu pendidikan yang tinggi tidak menjamin kompetensi komunikasi yang baik.
Kadang-kadang kita menganggap bahwa komunikasi itu hanyalah suatu yang bersifat common sense dan setiap orang pasti mengetahui bagaimana berkomunikasi. Padahal sesungguhnya banyak yang tidak memilki ketrampilan berkomunikasi yang baik karena ternyata banyak pesan-pesan dalam komunikasi manusia itu yang disampaikan tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga nonverbal, ada ketrampilan komunikasi dalam bentuk tulisan dan oral, ada ketrampilan berkomunikasi secara interpersonal, ataupun secara kelompok sehingga kita dapat berkolaborasi sebagai anggota dengan baik, dan lain-lain. Kadang-kadang kita juga mengalami kegagalan dalam berkomunikasi. Banyak yang berpendidikan tinggi tetapi tidak memilki ketrampilan berkomunikasi secara baik dan memadai sehingga mengakibatkan kegagalan dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Sehingga komunikasi itu perlu kita pelajari.

5. komunikasi adalah populer.
Komunikasi adalah suatu bidang yang dikatakan sebagai popular. Banyak bidang-bidang komunikasi modern sekarang ini yang memfokuskan pada studi tentang pesan, ada juga tentang hubungan antara komunikasi dengan bidang profesiponal lainnya termasuk hukum, bisnis, informasi, pendidikan, ilmu computer, dan lain-lain. Sehingga sekarang ini komunikasi sebagai ilmu social/perileku dan suatu seni yang diaplikasikan.

E. Fungsi Komunikasi

Wiiliam I. Gorden dalam Deddy Mulyana, (2005:5-30) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu:

    1. Sebagai komunikasi sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, desa, ..., negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama.
• Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian.
George Herbert Mead (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994) mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga meras diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan sifat-sifat doketer menurut persepsi anda.
• Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang terkadang tidak relevan.
• Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta hiburan.

    1. Sebagai komunikasi ekspresif
Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi.

    1. Sebagai komunikasi ritual
Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebaga rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa. Negara, ideologi, atau agama mereka.
4. Sebagai komunikasi instrumental
Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunika membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan. Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya untuk memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan.
Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini, terdapat beberapa pendapat dari para ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi. Misal pendapat Onong Effendy (1994), ia berpendapat fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Sedangkan Harold D Lasswell (dalam Nurudin, 2004 dan Effendy, 1994:27) memaparkan fungsi komunikasi sebagai berikut:
• Penjajagan/pengawasan lingkungan (surveillance of the information) yakni penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat.
• Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya .
• Menurunkan warisan social dari generasi ke generasi berikutnya.







BAB III

KESIMPULAN


A.     Penutup

Jadi komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari seseorang yang memberikan pesan ke seseorang yang menerima pesan dengan maksud untuk mendapatkan respon atau tanggapan. Satu definisi tentang komunikasi sudah di bahas selanjutnya dengan definisi dari sumber lain.Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti " sama" communico, communicatio, atau communicare yang berarti " membuat sama" ( to make common). Istilah (communis) adalah istilah yang paling sering di sebut sebagai asal – usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata kata Latin yang mirip.

Komuniksi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan di anut secara sama. Kata lain yang mirip adalah komunitas ( community) yang juga menekankan kebersamaan dan kesamaan. Komunitas berarti sekumpulan orang yang berkelompok atau hidup bersama untuk mencapai tujuan terntentu dan mereka berbagi makna dan sikap.

Misalkan kelompok partai politik, mereka biasanya menjadi setu kelompok besar yang bisa di sebut community. Di sekolah misalkan ada kelompok kelas satu atau kelompok anak kelas dua mereka bisa di sebut community sekolah dan lain sebagainya. Tanpa komunikasi tidak ada komunitas kenapa ? karena tanpa komunikasi komunitas tidak bisa berbagai pengalaman emosi bersama dan komunikasi menjelaskan adanya kebersamaan itu.

Dari definisi-definisi di atas ternyata tidak hanya satu definisi yang memberi pengertian mengenai komunikasi tetapi bisa di ambil kesimpulan bahwa komunikasi mengandung unsur: Sumber (sources), pegirim (sender), penyandi (encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker). Menarik sekali untuk terus menggali tentang Definisi komunikasi


B.     Saran


Kadang-kadang kita menganggap bahwa komunikasi itu hanyalah suatu yang bersifat common sense dan setiap orang pasti mengetahui bagaimana berkomunikasi. Padahal sesungguhnya banyak yang tidak memilki ketrampilan berkomunikasi yang baik karena ternyata banyak pesan-pesan dalam komunikasi manusia itu yang disampaikan tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga nonverbal, ada ketrampilan komunikasi dalam bentuk tulisan dan oral, ada ketrampilan berkomunikasi secara interpersonal, ataupun secara kelompok sehingga kita dapat berkolaborasi sebagai anggota dengan baik, dan lain-lain. Kadang-kadang kita juga mengalami kegagalan dalam berkomunikasi. Banyak yang berpendidikan tinggi tetapi tidak memilki ketrampilan berkomunikasi secara baik dan memadai sehingga mengakibatkan kegagalan dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Sehingga komunikasi itu perlu kita pelajari.