Entri Populer

Minggu, 12 Desember 2010

PERILAKU ANTARA MAHASISWA DENGAN POLISI DI MAKASSAR. Oleh : Muhammad Saroha Lubis. JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU 2010


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang.
Demo mahasiswa di Makassar pada hari Kamis dan Jumat (5/3/2010) berakhir rusuh dan anarkis. Hal ini dipicu oleh tindakan sejumlah polisi dan warga yang melakukan perusakan terhadap sekretariat HMI pada hari Kamis (4/3/2010). Insiden itu sebelumnya disebabkan karena diawali adanya penyerangan mahasiswa terhadap kantor Polsek Ujungpandang. Aksi itu didominasi perlawanan mahasiswa terhadap polisi dan simbol-simbolnya. Bahkan selanjutnya kerusuhan itu meluas menjadi pertarungan horisontal antara warga dan mahasiswa. Bila timbul suatu masalah pelik, pasti akan timbul berbagai spekulasi penyebab seperti pengalihan isu, ditunggangi atau konspirasi tingkat tinggi. Namun tampaknya fenomena baru ini tampaknya terjadi diawali karena saling dendam dan saling tidak menghargai.
Tindakan anarkis mahasiswa pun tidak terelakkan lagi. Bahkan sebagian kalangan seakan tidak percaya bahwa tindakan itu dilakukan oleh mahasiswa sebagai insan intelektual. Bayangkan terlihat dengan ganas dan liarnya para mahasiswa melempari dan merusak berbagai kantor polisi. Bukan hanya itu sebagian mahasiswa merusak fasilitas umum seperti rambu lalulintas, lampu lalu lintas, beton pembatas jalan dicopot dibuang di tengah jalan. Tindakan brutal lainnya sekelompok mahasiswa menyandera mobil plat merah dan mobil polisi, dengan menginjak-injak, memecah kaca bahkan berusaha untuk menggulingkannya. Tindakan yang sulit diterima akal sehat dalam negara yang berdaulat, ketika mahasiswa melakukan sweeping di jalanan terhadap polisi yang lewat di jalanan. Hal yang lebih memiriskan ketika mahasiswa menutup jalan, suatu ketika sebuah mobil ambulans dengan lampu menyala menerobos barikade mahasiswa. Spontan para mahasiswa menjadi beringas. Melempari ambulans tersebut sehingga kaca belakangnya pecah. Hal ini sangat patut disayangkan, karena apapun alasannya, meski dalam keadaan perangpun, tidak boleh ada yang menghalangi ambulans bahkan sampai melemparinya.
Bentrokan hebat kembali meletus antara polisi dan mahasiswa Makassar. Kali ini melibatkan mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar (UNM). Polisi bahkan sampai mengejar para mahasiswa hingga ke dalam kampus mereka. Informasi sementara menyebutkan, bentrokan tersebut terjadi sekitar pukul 15.50 Wita, Jumat (5/3/2010). Peristiwa itu diawali aksi unjuk rasa mahasiswa UNM di depan kampus mereka Jl AP Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Namun dalam aksinya, para mahasiswa menyandera sebuah mobil patroli polisi. Hal tersebut memancing aparat kepolisian setempat mengambil tindakan tegas. Polisi bahkan mengejar para mahasiswa hingga ke dalam kampus UNM. Sebuah mobil di dalam kampus tersebut terlihat rusak. Belum jelas siapa pelaku perusakan kendaraan tersebut.
Rusuh antara warga dan mahasiswa di Makassar, Sulsel, masih berlangsung dalam dua hari itu. Mereka terlibat aksi saling lempar bom molotov. Dua massa itu, baik warga maupun mahasiswa, terlihat memegang bom molotov. Selain melemparkan batu dan balok kayu, saling lempar bom molotov pun terjadi.  Ratusan warga kini telah menguasai jalan depan kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) di Jl Andi Pettarani dan Jl Raya Pendidikan. Mahasiswa pun terdesak dan berlari masuk ke dalam kampus. Meski telah berada di dalam kampus, ‘pertarungan' antara dua massa tidak juga berhenti. Saling lempar batu dibatasi dengan pagar kampus. Karena mahasiswa bertahan dan melempar dari dalam kampus, sejumlah fasilitas kampus pun rusak. Kaca jendela Koperasi Mahasiswa pun hancur lebur. Sementara itu, Kapolda Sulselbar Irjen Adang Rohyana menggelar rapat di Rektorat  bersama para petinggi kampus.
Perseteruan dan rusuh antara mahasiswa, masyarakat dan polisi ini akan semakin meluas dan tidak terkendali bila semua pihak tidak bisa menahan diri. Tindakan rusuh yang awalnya bersifat lokal ini berpotensi meluas ke seluruh Indonesia yang mempertaruhkan keamanan yang imbasnya rakyat juga yang dirugikan.
Dalam keadaan yang tidak menentu ini, mungkin langkah bijak yang harus dilakukan bukan saling menyalahkan. Bila itu dilakukan maka semua pihak khususnya mahasiswa, polisi dan masyarakat pasti akan berkata paling benar dan pasti akan menuding pihak lain yang salah. Dalam keadaan seperti ini pasti akan timbul berbagai macam kecurigaan. Polisi pasti akan mencurigai aksi mahasiswa ditunggangi, adanya provokator dan rekayasa anarkisme. Sedangkan pihak mahasiswa tidak kalah garang bahwa menuduh bahwa masyarakat dibayar polisi, dibina polisi, pengalihan isu, konspirasi tingkat tinggi dan berbagai kecurigaan lainnya.
Sebaiknya semua pihak harus instrospeksi diri dengan bijak. Polisi harus lebih mawas diri , sebagai pengayom masyarakat bahwa mahasiswa termasuk kelompok masyarakat yang harus dilindungi. Mahasiswapun harus didominasi nalar intelektual dalam berpikir dan bertindak. Bukan mengedepankan darah muda dan mengabaikan rasio intelektual dengan bertindak tidak cerdas yang cenderung anarkis.

B. Perumusan Permasalahan.

Adapun perumusan masalah Dalam makalah ini yaitu :
1.                                Kenapa bisa terjadi bentrok antara mahasiswa dengan polisi. Padahal pungsi polisi adalah memberikan pelayanan, perlindungan, dan mampu mengayomi masyarakat dengan baik
2.                                Apa saja yang mempengaruhi mahasiswa sehingga mahasiswa banyak merusak pos-pos polisi, pasilitas umum, mobil dinas pejabat negara serta, merusak ambulan yang sedang lewat menerobos jalan yang di blokir mahasiswa.
3.                                Tindakan apa seharusnya yang di lakukan pihak kepolisian dalam melayani mahasiswa yang sedang menyampaikan aspirasinya melalui aksi turun ke jalan.
4.                                Mahasiswa sebagai kaum intelektual, apakah pantas mahasiswa bertindak anarkis dalam kejadian yang terjadi disaat mahasiswa aksi turun kejalan.





BAB II

PEMBAHASAN



  1. Sebuah Bentuk Pengalihan Isu Sistemik Bank Century
Mencermati konflik yang terjadi di Makassar antara HMI Cabang Makassar dengan Polisi Republik Indonesia (Polri) bermula dari persoalan pribadi antara anggota Densus 88 dengan anggota HMI Cabang Makassar. Konflik itu berujung pada penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar, Rabu (3/3/2010). Persoalan ini berbuntut panjang dan mengakibatkan konflik yang berlarut-larut antara HMI se-Indonesia dan Polri.

B. Penyerangan Sekretariat HMI
Dalam kasus penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar tersebut ada beberapa motif; Pertama, peristiwa ini merupakan bentuk dendam anggota Densus 88 terhadap anggota HMI Cabang Makassar dalam pengamanan aksi demonstrasi sebelumnya yang berakibat adanya ketersinggungan anggota Densus 88 terhadap peserta aksi yang sudah masuk pada ranah pribadi (pernyataan Kapolda Sulselbar di media massa). Kedua, adanya upaya pengalihan isu kasus Bank Century yang menjadi focus issue dari gerakan mahasiswa terutama HMI. Ketiga, menciptakan image and opinion public terhadap gerakan mahasiswa yang cenderung anarkis.

Hal ini secara komprehensif dapat kita cermati; Pertama, konflik ini terjadi di Makassar yang beberapa waktu ini menjadi titik sentral gerakan mahasiswa terhadap kasus korupsi di Indonesia, lihat peristiwa KPK-Polri atau “cicak versus buaya,” kemudian peringatan Hari Korupsi pada 9/12/2009, dan gerakan mahasiswa pada kasus Bank Century. Mahasiswa di Makassar memiliki perlawanan yang serius dan sangat keras dan salah satu motor gerakan itu adalah HMI bersama organisasi mahasiswa se-Indonesia.

Koflik ini sangat ironis, karena dilakukan oleh perwira Densus 88 dan anggota Samapta Polda Sulselbar merusak sekretariat HMI yang merupakan simbol organisasi, dan menganiaya kader HMI yang berada di sekretariat HMI Cabang Makassar. Dan ini merupakan upaya memancing reaksi mahasiswa yang dalam pemetaan gerakan HMI Makassar merupakan basis HMI terbesar di Indonesia dan memiliki kultur yang keras, sehingga ketika peristiwa itu terjadi di Makassar tentunya akan memancing reaksi mahasiswa.

Kedua, akibat konflik ini, reaksi HMI se-Indonesia muncul, hal ini karena yang diserang Polri adalah simbol organisasi HMI, bagi kader HMI simbol tersebut memiliki arti yang sangat sakral terbukti reaksi HMI se-Indonesia secara serentak melakukan perlawanan pada Polri, sehingga kasus Bank Century beralih pada perilaku mahasiswa yang radikal. Hal ini dapat kita cermati pasca-penyerangan seketariat dan pemukulan kader HMI Cabang Makassar oleh anggota Densus 88, terjadi aksi balasan oleh anggota HMI Cabang Makassar.

Pada Kamis, tanggal 4 Maret 2010, anggota HMI melakukan penyerangan ke Polsek dan pos polisi di Makassar dan terjadi bentrok antara Polri bersama warga yang terorganisir dengan Mahasiswa UIN Awwaludin. Hal ini dipicu dari pemukulan ketua umum dan pengurus HMI Cabang Makassar ketika melaporkan penyerangan yang dilakukan anggota Densus 88 di Mapolwiltabes Makassar. Isu beralih pada HMI-warga bentrok, dalam hal ini seolah-olah mahasiswa bersikap berutal dan anarkis yang mengakibatkan warga marah. Dari penjelasan Ketua Umum Pengurus Besar HMI, Arif Musthopa, bahwa warga yang dimaksud adalah orang-orang yang sebelumnya sudah dikumpulkan di salah satu kantor polisi di Makassar dan menjadi pelaku yang sama pada penyerangan demonstrasi mahasiswa Universitas Negeri Makassar (5/3/2010).

C. Pengalihan Isu
Penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar oleh anggota Densus 88 merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan norma, etika dan melanggar hukum apatah lagi yang melakukan penyerangan tersebut adalah aparat penegak hukum, yang seharusnya melakukan penegakan hukum, bukan malah sebaliknya. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya dan berimplikasi pada perlawanan HMI terhadap institusi Polri dan dapat dipastikan akan terjadi gejolak di daerah-daerah oleh kader HMI dan proses ini akan berlangsung berlarut dan panjang.

Sebagai organisasi yang independen dan dinamis daya juang kader HMI tidak akan berhenti, bahkan gerakan HMI akan semakin mengalami penguatan. Penulis menganalisa, bahwa gerakan di Makassar akan mengarah pada tuntutan Kapoda Sulselbar dan Kapolwiltabes mundur dari jabatannya atau di copot oleh Mabes Polri, dan gerakan mahasiswa akan menuntut kasus Bank Century agar dituntaskan akan semakin gencar, serta reformasi di tubuh Polri.

HMI menganggap bahwa tindakan anggota Polri tersebut merupakan rangkaian pengalihan isu Bank Century yang dilakukan Polri dengan memancing reaksi gerakan mahasiswa agar terjadi gerakan yang anarkis dan berutal. Dan hal itu sudah dapat dilihat bagaimana perlawanan yang berlangsung sengit dari HMI Cabang diberbagai daerah; Jakarta, Medan, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Banten, Jogjakarta, Tulung Agung, Ambon, Pare-pare, Tanjungpinang, dan lain sebagainya berlangsung ricuh. Gerakan ini merupakan aksi solidaritas kader HMI se-Indonesia terhadap penyerangan sekretariat HMI Cabang Makassar, yang menandakan bahwa telah terjadi tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani gerakan mahasiswa.

Tindakan anarkis mahasiswa ini, menurut Muchtar E Harahap dan Andris Basril (1999), bahwa mahasiswa memiliki potensi radikalisme dan oposisi terhadap otoritas pemerintah dan status quo kekuasaan. Ketika Polri bermain pada ranah yang sensitif terhadap organisasi kemahasiswaan tentunya akan memancing potensi radikalisme dari kelompok mahasiswa. Dalam persoalan ini tentunya pernyataan Kapolda Sulselbar, bahwa yang melakukan penyerangan itu adalah oknum Polri bukan institusi Polri sebagai upaya agar tidak terjadi konflik yang meluas tentunya merupakan pernyataan yang tidak bertanggung jawab. Namun justru hal ini akan diabaikan oleh kader HMI, karena bagaimana bila kejadian tersebut terjadi sebaliknya, anggota Polri yang diserang mahasiswa.

Bagi HMI, peristiwa penyerangan sekretariat HMI ini memberi energi baru bagi kader HMI se-Indonesia, karena peristiwa ini akan membangkitkan semangat kader HMI. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai bentuk fase perlawanan HMI pasca-reformasi dan HMI menemukan kembali khittah organisasinya sebagai organisasi perjuangan. Tindakan Polri yang beberapa waktu ini cenderung represif dalam menangani massa aksi akan menjadi agenda gerakan mahasiswa, karena sebenarnya Polri harus berterima kasih terhadap gerakan reformasi 1998. Dampak lain dari gerakan reformasi 1998, Polri telah dipisahkan dari TNI dengan itu diharapkan Polri tidak militeristik akan tetapi lebih persuasif terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, LSM, buruh, tani dan masyarakat.

D. Reposisi Paradigma
Berangkat dari konflik HMI-Polri beberapa waktu ini  ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh masing-masing kelembagaan HMI-Polri, yaitu; reposisi paradigma peran dan fungsi kelembagaan tersebut. HMI sebagai organisasi mahasiswa dan berperan sebagai organisasi perjuangan, harus berjalan pada koridor dan kapasitasnya secara proporsional. Sebagai kaum intelektual dan terpelajar dalam melakukan gerakannya, HMI lebih mengedepankan substansi aksi tidak terjebak pada persoalan emosional sesaat yang menimbulkan reaksi personal dalam melakukan aksi unjuk rasa.

Polri juga harus menyadari bahwa posisinya sebagai alat negara bukan alat kekuasaan yang diberi wewenang untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, bukan sebaliknya melakukan pemukulan, penyerangan, penganiayaan, ka-renanya Polri harus lebih bersikap kooperatif dan persuasif tidak melakukan penyerangan dan dalam melihat massa aksi bukanlah sebagai lawan atau musuh, akan tetapi memberikan ruang secara proporsional agar aspirasi peserta unjuk rasa dapat tersalurkan. Apabila reposisi ini dapat dilakukan, maka kemungkinan bentrok antara mahasiswa dan Polri akan terminimalisir dan demokrasi serta penegakkan hukum dapat berjalan dengan baik. Semoga.

E. Berpikir Rasional
Bila semua pihak berpikir rasional dan kepala dingin maka semua kecurigaan dan pikiran negatif itu akan semakin menjauh. Kecurigaan terhadap sesuatu boleh saja terjadi, tetapi jangan berlebihan. Kecurigaan seperti pengalihan isu sosial century adalah kecurigaan yang kurang mendekati rasio seorang intelek. Kalaupun ada skenario pengalihan isu, maka sutradaranya pasti adalah sangat tidak pintar. Karena, bila itu dilakukan maka kerugiannya sangat besar dibandingkan manfaatnya. Bayangkan bila tujuan pengalihan itu tercapai hanya bersifat sementara, namun taruhannya kekacauan akan meluas ke seluruh pelosok negeri yang akan mengancam kredibilitas penguasa. Justru kecurigaan bersama terhadap pihak ke tiga atau provokator boleh dikedepankan, karena berbagai pihak dapat memancing keuntungan di tengah kekeruhan situasi.
Pikiran positif harus diciptakan semua pihak. Pikiran positif pihak mahasiswa harus diciptakan untuk menjadi lebik bijak. Bahwa polisi adalah aparat yang tidak mementingkan kepentingan politik, mereka hanya sekedar berorientasi melancarkan hambatan yang menganggu keamanan dan ketertiban umum. Mahasiswa juga harus sadar bahwa polisi adalah profesional yang diciptakan untuk menghargai simbol-simbol korpsnya secara mutlak. Simbol kebanggaan korps seperti bendera atau markas harus dijaga dengan darah dan nyawa. Bila simbol kebanggan korps seperti markas mereka diserang maka akan meningkatkan adrenalinnya untuk melakukan tindakan yang diluar rasio akal sehat seorang sipil.
Demikian juga polisi harus menyadari bahwa mahasiswa adalah seorang intelektual idealis dengan tingkat emosi, rasio dan kebijakan yang belum matang. Bila simbol kesetiakawanan dan perjuangan mereka terusik seperti penyerangan markas HMI maka semua yang bernama mahasiswa di seluruh negeri pasti akan mendidih darahnya. Sehingga apabila oknum mahasiswa dan oknum polisi melakukan hal itu, semua harus menahan diri. Tindakan oknum mahasiswa menyerang pos polisi tidak mewakili tindakan mahasiswa pada umumnya. Sebaliknya tindakan polisi menyerang markas HMI tidak mewakili korps polisi secara keseluruhan.
Semua pihak harus dengan akal sehat dan niat baik untuk meredam saling kecurigaan yang ada dalam panasnya belahan otak mahasiswa atau dan mendidihnya darah korps polisi. Polisi harus maklum mahasiswa marah karena markas HMI dihancurkan. Mahasiswapun harus sadar bahwa polisi bertindak brutal karena markasnya sebelumnya didahului diserang mahasiswa. Demikian juga mahasiswa harus maklum bahwa mengapa masyarakat bertindak antipati terhadap mereka, karena selama ini masyarakat sudah sangat terganggu oleh aksi tutup jalan dan tindak anarkis mahasiswa. Setiap pihak tidak boleh memaksakan pihak lain untuk supaya mentoleransi tindakannya. Semua pihak harus saling menghargai tugas dan pekerjaannya masing-masing. Polisi harus dihargai dalam tugasnya mengamankan ketertiban dan kemanan masyarakat khusunya menghadapi demonstrasi yang tidak tertib. Sedangkan polisi juga harus menghargai tugas alamiah mahasiswa sebagai wakil rakyat untuk berdemokrasi di jalanan. Demikian juga mahasiswa juga harus menghargai hak masyarakat untuk melakukan kegiatan sehari-hari untuk mencari nafkah dan beraktifitas. Mahasiswa harus sadar bahwa begitu mereka menutup jalan maka kerugian masyarakat yang terjadi sangat besar baik kerugian waktu dan kerugian ekonomi.
Meredam dendam itu bukan berarti harus dengan melegalkan serangan mahasiswa terhadap polisi dan meghalalkan anarkisme mahasiswa terhadap pos polisi. Tetapi harus saling introspeksi mengapa semua aksi itu terjadi. Semua aksi itu akan terjadi karena adanya kronologis peristiwa yang mengusik masing-masing pihak. Langkah awal yang pasti harus dilakukan mahasiswa, masyarakat dan polisi untuk menahan diri dan berpikir logis. Sebaiknya mahasiswa menahan diri untuk menutup jalan atau mengacau ketertiban umum. Sedangkan polisi harus mengutamakan tindakan persuasif. Tindakan selanjutnya setelah suasana dingin, semua perilaku yang melanggar hukum baik mahasiswa dan polisi harus diproses secara hukum secara tranparan dan terbuka. Bila ini semua dilakukan dengan elegan maka tidak akan ada lagi tindakan anarkis mahasiswa dan tindakan represif polisi. Pelajaran penting yang utama adalah bahwa dendam dan saling tidak menghormati sesamanya adalah akar dari permasalahan itu sehingga semua jadi meruncing. Jangan sampai mahasiswa ingin membantu memperbaiki masalah bangsa tetapi hanya menambah masalah baru. Jangan sampai mahasiswa ingin memperjuangkan rakyat tapi justru akan dimusuhi rakyat yang sedang diperjuangkannya. Semua peristiwa buruk yang terjadi adalah sebagai pembelajaran berdemokrasi yang lebih baik dan berbudaya di masa depan dengan selalu mengikuti norma dan aturan yang sudah disepakati bersama oleh seluruh bangsa ini.
F.Polisi Penengah
Terkesan polisi lemah dalam mengapresiasi "manajemen konflik" untuk secepatnya meredam agar perselisihan oknum mahasiswa dengan oknum polisi agar tidak berkembang lebih besar. Manajemen konflik yang baik akan mampu merefleksi situasi dan kondisi yang mulai genting menjadi redam dengan pendekatan persuasif dan saling memahami fungsi masing-masing.

Polisi dan mahasiswa bisa menahan diri seandainya pimpinan polri bergerak cepat meredam pemicu yang menyebabkan Mes HMI dirusak. Oknum polisi yang menyerang sesegera mungkin diproses secara terbuka dan dapat dipantau publik. Karenanya citra dan kewibawaan polisi kembali diuji, terutama pada kemampuan menempatkan diri sebagai "polisi sipil" dalam mendekati mahasiswa.

Unjuk rasa  mahasiswa juga butuh pelayanan yang persuasif. Bukan dengan gertakan, apalagi ancaman akan ditangkap atau diciduk setelah aksi unjuk rasa selesai. Seberapa jauh polisi secara institusional mampu mendekatkan diri dengan mahasiswa (termasuk warga masyarakat), amat bergantung pada inisiatif pimpinan dalam membentuk watak bawahan yang akan bertugas di lapangan. Kehadiran aparat kepolisian, sebetulnya bukan sebuah pilihan yang harus ada di setiap tempat,  lantaran terbatasnya personel polisi. Selaku polisi sipil, sebaiknya setiap personelnya mampu memahami watak warga masyarakat yang akan diamankan dan dilayani.

Posisi polisi dalam mengamankan unjuk rasa seharusnya "sebagai penengah" dengan aktif menghubungi pejabat sebagai sasaran yang dituju bagi pengunjuk rasa. Penengah yang bijak dan profesional dari kemungkinan terganggunya kepentingan umum dengan kepentingan pengunjuk rasa yang akan menyampaikan aspirasinya.
Ujian kewibawaan bagi polisi semakin sering terjadi, terutama ketika eskalasi demokrasi dan gerak langkah masyarakat semakin dinamis. Era polisi sipil saat ini menjadi penting, karena menangani segala hal yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, otomatis akan menempatkan polisi yang bisa jadi serba salah.

Di sinilah dituntut kematangan mental untuk selalu bersabar sebagai salah satu unsur polisi sipil yang profesional, dan hal ini akan terus mendapat ujian karena dinamika masyarakat tidak pernah berhenti. Polisi mesti memahami bahwa komunikasi politik antara rakyat dengan pemerintah, salah satunya melalui unjuk rasa. Hanya saja harus didesain dengan matang, apalagi, sebagian peserta aksi adalah warga kelas menengah dan terdidik.

Substansi unjuk rasa adalah keinginan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Tuntutannya tentu bukan sekadar pesan kosong, sehingga pemerintah harus menyikapinya dengan bijaksana dan polisi berada pada posisi netral dan penengah.

G. Sudah Kebal
Ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) digulirkan, memang ada keraguan berkaitan dengan kemampuan dan kompetensi polisi yang bertugas di lapangan. Mampukah polisi memberikan pelayanan, perlindungan, dan pengayoman yang baik bagi masyarakat yang kehidupannya serba dinamis dan kompleks itu?
Keberhasilan menangani terorisme, obat terlarang, dan berbagai tindak kejahatan lain, belum bisa menjadi ukuran keberhasilan polisi secara keseluruhan. Sebab, dalam UU Kepolisian, polisi dituntut menjadi polisi yang santun dalam memberikan pelayanan, perlindungan, dan mampu mengayomi masyarakat dengan baik.
Di sinilah tempatnya polisi melakukan komunikasi dengan baik saat ada aksi unjuk rasa mahasiswa yang kemungkinan akan mengganggu kepentingan umum atau bahkan anarkis.
Setiap aksi unjuk rasa, baik yang dilakukan oleh mahasiswa maupun kelompok masyarakat lain, sudah pasti akan mengganggu kepentingan umum, karena pengunjuk rasa juga menggunakan ruang publik (fasilitas jalan) yang sama dengan warga masyarakat. Aspek ini jugalah yang perlu dipahamkan kepada warga masyarakat, bahwa aksi unjuk rasa tidak mungkin bebas dari penggunaan ruang publik. Penutupan jalan di depan kampus oleh pengunjuk rasa, meskipun hal itu menganggu ketertiban umum dan tidak boleh dilakukan, tetapi penyebab dari aksi itu juga harus dikritisi. Ada kesan akhir-kahir ini, para pejabat negara sudah mulai "kebal dengan unjuk rasa" lantaran hampir setiap hari melihat dan menjadi sasaran penyampain aspirasi. Karena merasa sudah kebal, merekapun mulai acuh, bahkan tidak mau lagi melayani dengan baik pengunjuk rasa yang akan menyampaikan aspirasi. Kondisi inilah sebagai "salah satu pemicu" penutupan jalan dan kemungkinan akan bentrok dengan polisi yang datang mengamankannya.

Kasihan mereka, dua sosok yang masing-masing punya fungsi positif (polisi dan mahasiswa) dalam kehidupan bernegara, terpaksa harus berhadap-hadapan hanya karena keacuhan pejabat negara menerima dengan baik maksud pengunjuk rasa. Banyak yang mengakui, unjuk rasa merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengubah persepsi penguasa dari kekeliruan yang terus dilakukan. Pemerintah dan parlemen tidak dipercaya lagi mengemban amanah rakyat. Kasus Century merupakan salah satu bukti begitu bobroknya watak sebagian penyelenggara negara dalam menyikapi persoalan krisis yang kemudian dibungkus dengan "kebijakan bailout" yang ternyata melanggar hukum.










BAB III

KESIMPULAN

A. Penutup     
Dalam UU Kepolisian, polisi dituntut menjadi polisi yang santun dalam memberikan pelayanan, perlindungan, dan mampu mengayomi masyarakat dengan baik Bentrok antara aparat kepolisian dengan mahasiswa, khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makassar selama hampir tiga hari, mulai dari tanggal 3-5/3/2010 cukup menyita perhatian berbagai kalangan. Reaksinya bukan hanya di Makassar, tetapi menasional karena melalui media televisi disiarkan secara langsung konflik yang terjadi itu.
Dukungan solidaritaspun bermunculan, aktivis HMI di sejumlah kota turut mengecam tindakan polisi yang menyerang Mess HMI. Saling serang begitu terbuka, beberapa oknum polisi menyerang dengan merusak Mes HMI dan menangkap mahasiswa yang kebetulan terpisah dari kelompoknya. Sebaliknya, mahasiswa juga melakukan serangan balasan terhadap kantor polisi dan pos-pos pelayanan lalu-lintas, bahkan melempari polisi yang mencoba mendekatinya. Peristiwa ini lagi-lagi kembali menyentakkan masalah klasik, kebablasan melaksanakan hak mengemukakan pendapat (unjuk rasa) dan runtuhnya "citra polisi" dalam menangani aksi tersebut.

Ujian bagi citra dan kesantunan polisi dalam menangani aksi unjuk rasa, bukan sekali ini. Sudah berulang-kali bentrok dengan mahasiswa terjadi seiring dinamisnya kehidupan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Berbagai perilaku, baik dari pengunjuk rasa maupun oknum polisi yang tercela sering terjadi, lantaran keduanya tidak mampu menempatkan diri pada proporsinya masing-masing.

Unjuk rasa memang salah satu bagian dari demokratisasi, tetapi saat unjuk rasa anarkis yang menimbulkan ketakutan bagi warga masyarakat, maka polisi akan hadir mengapresiasinya. Sayang, polisi tidak mampu mengelaborasi potensi konflik dengan baik sehingga pecahlah bentrok yang cukup serius selama hampir tiga hari.   
              

B.     Saran

 

Untuk menurunkan tensi konflik mahasiswa-polisi di Makassar, semua pihak harus intropeksi diri.  Mahasiswa juga mematuhi hukum dan menghargai hak-hak orang lain dalam menggunakan fasilitas. Misalnya, tidak menutup jalan secara serampangan, merusak fasilitas umum, sampai bentrokan dengan aparat kepolisian.
Pengalaman buruk selama hampir tiga hari ini, dijadikan pelajaran berharga agar aspirasi yang disampaikan selalu mendapat simpati rakyat. Begitu pula polisi, senantiasa menahan diri dan bersikap persuasif, bersahabat, dan mampu menampilkan diri sebagai polisi sipil yang tidak menyeramkan bagi mahasiswa dan warga masyarakat. Polisi juga perlu belajar lagi, bahwa pengalaman empiris banyak membuktikan, aksi unjuk rasa bukan saja dapat memengaruhi kebijakan, melainkan juga turut memengaruhi jatuhnya penguasa negara yang otoriter sekalipun.
















REFERENSI


http://m.detik.com. Luhur Hertanto - detikNews
http://openx.detik.com. Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews
http://www.kompas.co.id/utama/news/0405/01/215152.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar